Desember 2011

0

Tumpek Klurut

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai “Hyang Aji Gurnita”atas ciptaanya semoga kami tetap bisa hidup saling damai berdampingan & saling mengasihi terhadap sesama ciptaanya.Tumpek berasal dari kata Tumampek, yang artinya mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta. Sedangkan Kelurut = Keluruhan hati, welas asih untuk membangkitkan: Prema Murti = kasih sayang dgn berlandasan Ksama Murti yaitu pemberi maaf. Sebenarnya Tumpek Klurut adalah suatu pendekatan diri kepada Hyang Maha Pencipta dengan menumbuhkan rasa kasih sayang kita kepada semua ciptaan “Hyang Aji Gurnita”. Termasuk sarwa prani hitang karah, diantaranya  yang tumbuh dan tumuwuh, gumatap gumitip dalam hidup dan kehidupan. 

Tumpek kelurut sangat identik dengan hari kasih sayang / Valentino day, atau juga di India sendiri disebutkan dengan hari Raksa Bandhanan, yang jatuh pada bulan Agustus, diwujudkan dalam kasih seorang suami istri kakak beradik, hal ini dimulai dengan yang perempuan melakukan Aarti pemujaan di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan menikmati prasadam bersama, menyematkan bangket merah pada kening suami kakak/adik lelakinya, serta dibalas dengan pemasangan gelang Bandhanan pada pegelangan tangan perempuan. 

Sangat disayangkan para elit-elit agama kita jarang sekali menyentuh filosofi dari esensi tumpek klurut dibandingkan dengan semaraknya ritual  yang dilakukan secara turun temurun yg nyaris tidak menyentuh makna dibalik ritual. Apa yg terjadi kemudian, mereka lebih mengenal Valenntino day ketimbang Raksa bandhanan/ tumpek klurut.

0

aku KEMBALI


aku berkuasa dibawah kehendak TUHAN, maka terjadiah apa yang seharusnya terjadi...
ku ikhlaskan untuk melepas jiwaku untuk kembali, menuju KEDAMAIAN yang ABADI...
ragaku, duniawiku, dan egoku menjadi lenyap berbaur dengan hangatnya CINTA...
PENGUASA SEMESTA yang Agung, aku kembalikan semua yang Engkau punya dan yang Engkau telah titipkan . . .

diantara LANGIT dan BUMI,
aku menangis dan tetawa tapi tak kuliahat keabadian itu...
kian munafik jika aku terus bertahan,
datanglah!! owhh HAMPA,
ku ijinkan semua ini MUSNAH dengan SANG WAKTU.

selamat tidur, ragaku...
hari kebangkitan itu ku tunggu, indahnya SANG MENTARI ku yakini membawa CINTA kembali,
untuk KEBAHAGIAAN semua mahluk...
damai, DAMAI dan damailah...

0

Majapahit Dalam Sejarah ( 3 )


Bangunan suci darmma haji berjumlah 27. Bangunan ini bertujuan untuk memuliakan para kerabat raja yang telah meninggal. Selain itu, leluhur raja dipuja dan dimuliakan setara dewata di bangunan-bangunan tersebut. Salah satu tempat pen-dharma-an dibangun dalam masa Rajasanagara adalah Prajnaparamita-pun yang dihabiskan untuk memuliakan tokoh Rajapatni, nenek Hayam Wuruk. Nagarakrtagama menguraikan sebagai berikut:

prajaparimitapuri ywa panlahnin rat/ri sanghyang sudarmma, prajnaparamitakriyenu lahaken/sri jnanawidyapratistasotan/pandita wrdda tantragata labdawesa sarwwagamajna, saksat/hyang mpu bharada mawak I sirande trpti ki twas narendra.
mwang taiki ri bhayalango ngganira sang sri rajapatning dinarmma, rahyang jnanawidinutus/muwah amuja bhumi sudda pratistaetunyan mangaran/wisesapura kharam-bhanya pinrih ginong twasmantrya-gong winkas/wruherika dmung bhoja nwam utsaha wijna.
lumra sthananiran pinuja winangunlcaityadi ring sarwwadesa, jawat/waisapuri pakuwwana kebhaktyan/sri maharajapatni, angken. bhadra siran pinujaniñg amatya brahma sakwehnya bhakti, mukti swarg-ganiran)mapotraka wisesang yawabhumyekhanatha.

Terjemahannya:

Bangunan suci Prajnaparamita merupakan permata dunia, adalah suatu kesempurnaan dharmma yang keramat, upacara bagi pentahbisan arca Prajnaparamita diselenggarakan (oleh pendeta) agung Jnanawidya, merupakan pendeta sepuh (aliran) Tantragata yang telah menerima ilham dan memahami berbagai ilmu agama, sunguh bagaikan Mpu Barada yang menjelma pada dirinya, membawa kebahagiaan bagi Narendra (Raja Hayam Wuruk).
Kemudian lagi sekarang di Bhayalango tempat bagi Sri Rajapatni didarmakan (dimuliakan), tokoh suci Jnanawidhi dititahkan untuk (mengadakan), tokoh suci Jnana widhi dititahkan untuk (mengadakan upacara) pengkudusan lahan (dan) pengeramatan arca, sebab itulah diseru (dengan) nama Wisesapura, dipelihara secara baik sehingga menjadi tempat mulia, banyak menteri (pejabat tinggi) bersegera mengunjunginya, (termasuk) Demung, Bhoja, remaja dan kaum cendikia.
tempat (itu) sangat terkenal sebagai pemujaan, dibangun pula caitya (sumbangan) dan berbagai daerah, (di sekitar) banyak perumahan kaum Waisya, (mereka ji-iga melakukan) kebaktian bagi Sri Rajapatni, tiap bulan Bhadra (Agustus-September) dia (Rajapatni) dipuja oleh para pengiring raja dengan mantra suci, mengadakan sembah bakti, pembebasan (untuk) masuk surga baginya, (dan) dia (Rajapatni) beranak cucu raja-raja terkenal di tanah Jawa”.


Bangunan candi pen-dharma-an lainnya yang diuraikan dalam Nagarakrtagama adalah Simping atau reruntuhan Candi Sumberjati yang terletak di wilayah Blitar dekat dengan aliran Sungai Brantas. Candi tersebut merupakan bangunan suci untuk memuliakan kakek Rajasanagara, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya. Dalam Nagarakrtagama pupuh 47 disebutkan bahwa Simping adalah salah satu bangunan pen-dharma-an Krtarajasa (Raden Wijaya).

Adapun pen-dharma-an lainnya terletak di bagian dalam istana Majapahit, 
              “rin saka matryawuna linaniran narendra, drak pinratista jinawimbha siren puri jro, antahpura ywa panlah rikanan sudarmma, saiwapratista sira teki muwah ri simping” (Nag. 47:3).

              (“Pada tahun 1231 Saka, wafatlah sang raja (Krtarajasa Jayawarddhana), lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina di istana bagian dalam, Antahpura demikian tempat penngatan (baginya) di sana. (merupakan) pen-dharma-an yang indah, (adapun) arca Saiwa baginya di tempatkan di Simping).

Apabila Krtarajasa wafat pada tahun 1231 S (1309 M),bangunan suci di Simping diperkirakan didirikan setelah 12 tahun kematiannya, yaitu tahun 1321 M. Upacara sraddha diadakan dalam tahun itu, yaitu untuk mengantar arwah si mati memasuki alam kedewataan. Upacara itu diakhiri dengan pembangunan candi yang bertujuan untuk memuliakan tokoh yang meninggal. Sementara itu, pupuh 70 kakawin Nagarakrtagama menyatakan:
1.    irikang anilastanah saka nrpeswara warnnanen, mahasahas i simping saŋhyaŋ darmma rakwa sirãlihěn, saha widiwiwidänasiŋ lwir/niŋ saji krama tan kuraŋ, prakhasita sang adyaksãmujaryya rãjaparãkrama.
2.    rasika nipuneŋ widya tatwopadesa siwãgami sira ta manadistãne saŋ sri nŗpa krtarajasa duwég inulahaken taŋ prasada gopura mekala prakasita sang aryyanama kruŋ prayatna wineh wruha.

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:
1.    “uraian [tentang kegiatan] raja pada tahun Saka 1285 (1363 M), berkunjung ke Simping [tempat] bangunan suci pen-dharrna-an yang dipindahkan, bermacam persembahan (widi-widana) [dan] berbagai persajian lengkap, tidak ada yang kurang, sang adyaksa yang terkemuka [bernama] Rajapapara— krama [mengadakan] upacära pemujaan yang agung.
2.    pemujaan itu mengacu kepada pengetahuan Tatwopadesa dan Siwagama, dialah yang “menyemayamkan” di adistana, sang pangeran Krtarajasa, dengan baik ia membangun prasada (atap yang menjulang tinggi), gapura dan pagar keliling, terkenallah ia dengan nama Aryya Krung, [orang yang] giat, gigih, bersemangat dan serba tahu”.

Pada 1363 M, kemungkinan bangunan pen-dharma-an bagi Raden Wijaya di Simping telah mulai rusak karena telah lama didirikan sejak tahun 1321 M sebelum Rajasanagara naik tahta. Maka, upacara keagamaan yang cukup besar diadakan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal mi dilakukan untuk perbaikan dan pemindahan bangunan suci Simping ke lokasinya yang baru. Upacara ini dihadiri sendiri oleh Hayam Wuruk.

Demikianlah dua bangunan pen-dharma-an yang didirikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk menurut Nagarakrtagarna. Kedua bangunan itu adalah Prajnaparamitapuri yang sekarang dinamakan Candi Bayalango dan Simping atau Candi Sumberjati sekarang. Rajasanagara sengaja mendedikasikan bangunan-bangunan itu kepada kakek-neneknya yang telah berjasa mendirikan Wilwatika. Raja bahkan datang sendiri ke lokasi di Blitar pada waktu penyempumaan bangunan Simping.

Penduduk Majapahit yang tertib dan sejahtera masa itu tentunya berkat adanya norma dan penegakkan aturan secara baik dan ditaati oleh seluruh rakyat. Hal mi disebabkan telah dikenal adanya kitab hukum dan perundang-undangan yang sangat dihormati dalam masa kejayaan Majapahit. Prasasti Bendasari yang dikeluarkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara dan juga prasasti Trowu1an yang berangka tahun 1358 M, artinya dalam masa Rajasanagara juga, disebutkan adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya Kutaraman awadharmasastra. Isi kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.

Isinya antara lain tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), utang-piutang (ahutang-apihutang), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi) dan fitnah (duwilatek). Demikianlah keadaan kitab hukum yang relatif memadai untuk masyarakat Majapahit dalam zaman keemasannya di era Rajasanagara. Nampaknya kitab Kutaramanawa tersebut tidak lagi diikuti secara baik dalam masa pemerintahan raja-raja sesudah Hayam Wuruk karena terdapat intrik keluarga raja-raja hingga keruntuhan Majapahit.

Kitab perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya. Contoh isi kitab Agama (Kutaramanawadharmasastra) adalah sebagai berikut:

Pasal 87 : “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang-siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.

Pasal 92 : “Barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin perniliknya, dikenakan denda empat kali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenàkan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.

Perlindungan terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab tersebut, antara lain:

Pasal 108: “Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bercampur). “Seorang wanita boleh kawin dengan laki-laki lain, jika suaminya hilang, jika suaminya meninggal dalam perjalanan; jika terdengar bahwa suaminya ingin menjadi pendeta; jika suaminya “tidak mampu” dalam percampuran, terutama jika ia menderita penyakit budug. Jika demikian keadaan suaminya, wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.

Pasal 207: “Barangsiapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.

0

Majapahit Dalam Sejarah ( 2 )


Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit terjadi pula dalam. bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.

N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
1.    Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
2.    Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
3.    Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
4.    Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
5.    Tubuh bagian atas terbuka (tidak. memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
6.    Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
7.    Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
8.    Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
9.    Pada kedua kaki menjunfai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
10.    Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
11.    Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita” Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar disekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.

Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.

Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).

Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujuci Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) - ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.

Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.

Menurut Nagarakrtagama terdapat bermacarn bangunan suci yang dikenal dan dijaga oleh masyarakat dalam zaman kejayaan Wilwatikta. Bangunan-bangunan suci tersebut dibawah pengawasan dua orang dharmmadyaksa (pejabat tinggi keagamaan), yaitu dharmmadyaksa ring kasaiwan yang mengurus bangunan-bangunan suci yang bernafaskan agama Hindu-saiva dan dharmmadyaksa ring kasogatan yang menjaga bangunan-bangunan suci agama Budha Mahayana. Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi tempat-tempat keagamaan kaum Rsi, seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat-pusat pendidikan agama (mandala dan kadewaguruan).

Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan dua dharmmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh 76-77. Dharmmadyaksa ring kasaiwan mengawasi empat kelompok bangunan suci, yaitu;
1.    Kuti Balay merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandapa) tanpa dinding serta dilengkapi pula Bangunan tempat tinggal untuk para pendetanya (asrama).
2.    Parhyangan merupakan tempat-tempat suci untuk memuja leluhur/nenek moyang (hyang).
3.    Prasadha haji merupakan candi-candi kerajaan serta tempat pen-dharma-an kerabat raja.
4.    Sphatika i hyang merupakan tempat-tempat peringatan (?) bagi leluhur.

Adapun dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Budha yang terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1.    Kawinuya merupakan bangunan suci Budha yang secara umum bukan diperuntukkan bagi suatu sekte.
2.    Kabajradharan merupakan bangunan suci sekte bajradara-tantrayana.

Mantri her haji/air haji pada masa Majapahit termasuk kelompok mangilala drbya haji, artinya para pejabat kerajaan yang “menikmati kekayaan raja” (digaji oleh kerajaan). Maka, mereka dilarang memungut biaya apapun dalam lingkungan daerah-daerah perdikan (sima). Menurut Nagarakrtagama pupuh 75:2 dan pupuh 78:1, tugas mantri air haji adalah mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan terdapat di tempat-tempat itu.

Kata er, air dan her dalam bahasa Jawa Kuna berarti “air”. Jika kata itu digabungkan dengan haji, seperti erhaji, air haji atau her haji secara harafiah berarti “air raja”. Pengertian itu agaknya menunjukkan bahwa pejabat er haji sebenarnya mengurusi “air suci milik raja. Maka, “air suci” itu tidak lain adalah tempat petirthaan (patirthan) yang merupakan sumber air suci. Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa dan kotoran setara dengan air amerta. Pada umumnya patirthan terdapat di tempat yang jauh dari keramaian, seperti di lereng gunung, di pegunungan yang berhutan lebat (contohnya Jalatunda, Belahan, Kasurangganan dan Simbatan Wetan). Para pertapa (rsi) dan kaum agamawan lainnya bermukim di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pejabat yang berjuluk mantri her haji mengurusi tempat-tempat bagi para pertapa dan kaum agamawan dalam perkampungan mereka (mandala).

Adapun mengenai bangunan pen-dharma-an dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk didirikan bagi kerabat raja yang telah mangkat. Hal ini juga diuraikan dalam Nagarakrtagama.

BERSAMBUNG...

0

Majapahit Dalam Sejarah ( 1 )


Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di 
Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M)
Sang Sri Natha ri Wilwatikta haji
Rajasanagara wisesa bhupati.

Masa kejayaan Majapahit berlangsung dalam era pemerintahan Hayam Wuruk. Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali. Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Aryya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Dia menurut uraian Nagarakrtagama bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan (Nag. 49 : 4). Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta.

Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan). Kitab pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Welcasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep.

Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjanalan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya.

Menurut uraian Nagarakrtagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur tahun 1353 M mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1354 M, perjalanan ke Pantai Lasem dan tahun 1357 M ke pantai selatan. Pada saat mengadakan peqalanan ke pantai selatan inilah terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo.

Rute perjalanan yang paling panjang adalah ke Lumajang tahun 1359 M, Tarib dan Sampur tahun 1360 M. Pada 1361 M, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Penataran) yang merupakan candi Kerajaan Majapahit. Dia memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri di tahun 1362 M. Upacara ini berlangsung meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajnaparamita di Candi Prajnaparamitapuri di Bhayanglango. Pada 1363 M, Hayam Wuruk meng4dakan perjalanan ke Simping (Sumberjati) untuk meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi barn. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).

Pararaton menyatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan din dan jabatannya setelah peristiwa Bubat, disebutkan “... samangka sira gajah mada mukti palapa. Mukti palapa dalam situasi ini bukanlah sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu karena sumpah itu sudah lama diucapkannya dalam zaman pemerintahan ibunda Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Adapun mukti palapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai “menikmati masa istirahat”.

Oleh karena itu, Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada wilayah sima (daerah perdikan) untuk keperluan istirahatnya. Nagarakrtagama menyebutkan nama daerah itu sebagai Madakaripura. Tempat itu merupakan wilayah sunyi di pedalaman Jawa Timur sehingga cocok untuk Gajah Mada yang menarik diri dari dunia ramai. Selain itu, tempat itu juga disebut sebagai pesanggrahan bagi Gajah Mada. Hayam Wuruk pernah singgah di Madakaripura dalam perjalannnya ke Lumajang di tahun 1359 M. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil Pahom Narendra, yaitu dewan pertimbangan agung kerajaan yang beranggotakan:

1.    Sri Kertawarddhana, ayahanda raja
2.    Tribhuwananottunggadewi, ibunda raja
3.    Rajadewi Maharajasa (bibi raja)
4.    Wijayarajasa (suami Rajadewi Maharajasa)
5.    Rajasaduhiteswari (adik pertama raja)
6.    Singhawarddhana (suami Rajasaduhiteswari)
7.    Rajasaduhitendudewi (adik ke-2 raja).
8.    Raden Lanang/Bhre Matahun (suami Rajasaduhitendudewi).

Mereka berembuk untuk mencari siapa yang pantas menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit dengan tugas-tugas beratnya. Berdasarkan pertimbangan Pahom Narendra disimpulkan bahwa tidak ada seorang tokoh pun yang dapat menggantikan kedudukan Gajah Mada. Oleh karena itu, diangkatlah tiga tokoh yang melaksanakan tugas-tugas Gajah Mada, yaitu:

1. Aryyatmaja Pu Tanding sebagai wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan).
2. Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala menjadi menteri niancanagara
3. Patih Dami diangkat menjadi yawamantri.

Masa pemerintahan Hayan Wuruk tanpa patih amangkubumi hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat kekosongan jabatan patih. Gajah Enggon kemudian diangkat menjadi patih amangkubumi Majapahit (1371-1398 M). Pada 1389 M Rajasanagara rneninggal, tetapi tempat suci untuk memuliakannya (pen-dharrna-an) belum diketahui secara pasti. Pen-dharma-an Hayam Wuruk diduga adalah Paramasukhapura di daerah Tanjung. Hal ini berdasarkan berita Pararaton karena disebutkan bahwa yang di-dharma-kan di tempat itu adalah Bhattara Hyang Wekasing Sukha, nama anumerta Hayam Wuruk.

Susunan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Rajasan agara, susunan pejabat pemerintahan kerajaan jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hal itu dapat diketahui dari uraian beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Salah satu prasasti itu dinamakan prasasti Trowulan yang dikeluarkan tahun 1358 M. Prasasti itu antara lain menyebutkan bahwa nama resmi Hayam Wuruk setelah menjadi raja ialah Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri Rajasanagara Namarajabhiseka. Pahom Narendra terdapat di bawah raja yang anggota-anggotanya telah diuraikan di bagian terdahulu. Raja dibantu oleh pejabat tinggi utama dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada.

Para pejabat tinggi kerajaan yang disebut tanda berada dibawah patih. Mereka terdiri atas beberapa peringkat. Pertama adalah mahamantri katrini yang terdiri dan mahaniantri i hino, i halu dan i sirikan. Kedua adalah pasangguhan atau hulubalang. Ketiga adalah rakryan mantri dwipantara, yaitu pejabat urusan daerah-daerah Nusantara. Keempat adalah sang panca Wilwatikta yang terdiri dan patih, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Kelima adalah para pejabat juru pangalasan, yaitu pembesar daerah dan pembesar di negara bagian yang dilengkapi dengan para patih di daerah tersebut. Kelompok lairinya adalah para aryya, yaitu pejabat yang lebih rendah dan rakryan mantri. Para aryya dapat naik jabatannya apabila dianggap berjasa. Mereka dapat menjadi wrddhamantri (mentri senior). Selain para pejabat pemerintahan tersebut, ada juga para pejabat tinggi yang menangahi urusan keagamaan, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi perihal agama Hindu-saiva, Dharmmadyaksa ring Kasogatan pejabat yang mengurusi agama Budha Mahayana dan mantri er haji (mantri her haji) pejabat yang mengurusi perihal kaum pertapa.

Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca - yang selesai digubah tahun 1365 - terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikannya dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Adapun dalam baris satu pupuh 15 disebut adanya negara-negara sahabat Majapahit (mitra satata), seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthia, pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmarajanagara/Ligor), Marutma (Martaban, selatan Thailand), Rajapura (Rajjpuri, daerah selatan Thailand), Singhaagari (daerah di tepi Sungai Menam), Campa, Kamboja dan Yawana (Annam, Vietnam). Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu mitra satata Majapahit. Namun demikian, cukup banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Tnowulan bekas Kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang.

Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut:

“Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya anehaneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Bea yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”.

Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Cresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kotá tersebut.

Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telab memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah.

Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak barnbu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban. Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan. Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.

Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya. Mereka suka membeli bathbatu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dan dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit. 

BERSAMBUNG...

0

Lokasi Semedi Mpu Kuturan


Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.

SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.

Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.


Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.


Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi. 

Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.



Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.



Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.


Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.


Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.


Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat. bali putra.

0

Pura Agung Kentel Gumi

Balipost – Rabu, 28 Mei 2008.

PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).

Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.


Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan. 

Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.

 

Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.

 

Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.


Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.

 

Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.

 

Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460. bali putra.

0

Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap Mental


Sikap-tubuh (asana) dalam latihan hendaknya mantap dan nyaman. Dengan lepasnya ketegangan tubuh dan mental, transformasi batin dimungkinkan mencapai ketidak-terbatasan. 
Darisana bentuk-bentuk batin dualistik (dvandva) tak lagi mengganggu. [YS II.46 - II.48]

Patanjali memang tidak secara khusus menyebutkan ataupun merekomendasikan sikap-tubuh tertentu, namun banyak penekun dan Guru spiritual menemukan manfaat besar dari sikap-tubuh padmãsana (sikap duduk bagai bunga lotus), siddhãsana (sikap duduk para orang suci), swastikãsana (sikap duduk bagai simbol swastika) dan sukhãsana (sikap duduk sesuka hati, namun tetap bersila dengan tulang-punggung tegak). Banyak yang menyebutkan bahwa padmãsana-lah yang paling utama diantaranya. Yang perlu untuk digunakan pegangan dalam duduk bermeditasi adalah, kepala, leher dan tubuh dipertahankan agar tetap dalam satu garis lurus dan tegak. Tidak condong ke depan, ke belakang atau ke samping. Pilihlah satu sikap duduk yang paling sesuai bagi Anda, dan jangan setiap kali merubah sikap duduk. Pertahankan satu sikap duduk dengan mantap.

Secara khusus, Hatha Yoga —atau juga disebut Yogãsana—mengajarkan dan melatih semua sikap-sikap tubuh, yang amat bermanfaat bagi kesehatan dan kelenturan tubuh, dan tidak kita bicarakan secara khusus disini. Sikap-sikap tubuh ini sangat kondusif di dalam membentuk atau menghadirkan sikap-mental yang sesuai dengan yang diperlukan dalam melaksanakan japa dan langkah selanjutnya, yakni pranayama dan dhyana. Disamping kesehatan tubuh, pembentukan sikap-mental merupakan tujuan utama dari laku asana ini. Bahkan Sri Swami Sivananda menyatakan “bila tak dapat melaksanakan asana dengan sempurna, tidak akan dapat melakukan dhyana dengan baik”.

Sikap dan kondisi tubuh, ekspresi wajah, diketahui sebagai punya kaitan erat sekali dengan kondisi mental. Ambil contoh anjuran“keep on smiling” misalnya. Adakah landasan ilmiah —selain empiris—dari anjuran ini? Ternyata ada; seorang psikolog Jerman, Fritz Stark, pernah mengadakan penelitian ilmiah terhadap senyum, dalam kaitannya dengan pengkondisian batin kita. Menurutnya, membuat senyuman dengan otot-otot wajah, menipu otak untuk merespon dengan perasaan yang relevan. Pernyataan ilmiahnya ini, ternyata juga dikuatkan lagi oleh David Lykken —pensiunan profesor psikologi dari University of Minnesota, Minneapolis USA— dengan menyatakan “Emosi merupakan perpaduan antara perasaan internal dengan respons fisik yang memberikan umpan-balik pada otak kita”.  

Sebetulnya, hingga saat ini memang telah banyak bukti-bukti sebagai hasil empiris perseorangan, perkumpulan Yogãsana maupun penelitian-penelitian ilmiah tentang nilai manfaat langsungnya secara fisik maupun psikis. Asana tertentu —secara phisioterapis— dapat menyembuhkan penyakit tertentu, bahkan Yogãsana diyakini juga sebagai Yoga Kesehatan. Kondisi tubuh yang sehat, otot-otot yang lentur, tidak tegang, menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi kegelisahan mental. Dan ini amat membantu dalam tercapainya keterpusatan saat berlatih meditasi (dhyana). “Kalau Anda dapat duduk hanya untuk satu jam saja, Anda dapat memusatkan pikiran dan merasakan kesentosaan dan kebahagiaan”, papar Sri Swami Sivananda dengan amat meyakinkan.

Sebagai pembentuk sikap-mental, dan bukan semata-mata sikap-tubuh layaknya senam dan bentuk-bentuk olah-raga lainnya, asana sesungguhnya telah terbentuk ketika Yama-Niyama benar-benar diterapkan di dalam kehidupan. Di Nusantara dikenal—apa yang disebut dengan—sasana, disiplin mental dan prilaku yang pantas. Pemposisian asana sebagai tahapan ketiga—setelah Yama dan Niyama—seakan-akan mengisyaratkan bahwa, ‘tiada sadhana yang terlaksana dengan baik, tanpa didasari oleh sikap-mental yang baik’. Makanya, dalam yogasadhana, Yama-Niyama tetap menjadi kunci keberhasilan. Pelaksanaan tiga aspek dari Niyama saja—yakni Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana—sudah layak diperhitungkan sebagai melaksanakan Kriya Yoga.

0

KRIYA YOGA, MENGAWALI PENDAKIAN SPIRITUAL


KRIYA YOGA, MENGAWALI PENDAKIAN SPIRITUAL. Memasuki Sãdhana Pãda, berarti memasuki paparan spiritual praktis dalam rangka mencapai Samãdhi, dalam berbagai kategori, seperti yang dipaparkan dalam Samãdhi Pãda sebelumnya. Dalam Samãdhi Pãda kita telah disajikan idealisasi-idealisasi terpenting dari Yoga untuk dicapai; dan kini, Patanjali mulai memaparkan bagaimana mencapai semua itu.

Sãdhana Pãda, sebagai paparan praktis praktek spiritual, dibuka oleh Patanjali dengan Kriya Yoga melalui dua sutra berikut.

Hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan (tapa), mempelajari ajaran-ajaran suci secara mandiri (svadhyaya), dan penyerahan diri, kerja dan hasil kerja dalam pengabdian kepada-Nya (Isvarapranidhana) guna meraih penunggalan, disebut Kriya Yoga.  
Ini dilaksanakan guna melenyapkan kléša dan mencapai Samãdhi. 
[YS II.1 dan II.2]

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana merupakan tiga sadhana utama dari Kriya Yoga. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutnya sebagai ‘Yoga Pendahuluan’. Kenapa disebut 'Pendahuluan'? 
Ketiga sadhana utama yang termaktub dalam Niyama hanyalah tiga dari lima disiplin mental Niyama. Seperti dimaklumi —dan akan dijelaskan pada sutra-sutra berikutnya—Niyama merupakan tahapan kedua dalam delapan tahap Yoga-nya Patanjali, dan hanya diperuntukkan sebagai pembentuk sikap batin yang merupakan landasan moral dari seorang Raja Yogi. Bila hanya tiga dari disiplin moral-spiritual (brata) saja sudah layak memperoleh sebutan Kriya Yoga, dapat dibayangkan betapa tingginya ajaran Ashtanga Yoga yang dipersembahkan Patanjali kepada umat manusia ini.

Kriya Yoga diperuntukkan guna melenyapkan kléša atau kekotoran batin, yang merupakan hambatan-hambatan utama dalam praktek Yoga. Batin yang telah lenyap kekotorannya menjadi suci atau murni (sauca). Sementara itu sauca sendiri juga merupakan salah-satu disiplin dalam Niyama. Ada kepaduan langkah pengembangan batin yang menyeluruh, hanya dalam praktek Niyama saja. Kendati disebut sebagai ‘pendahuluan’ itu sudah dikategorikan sebagai Yoga. Di Barat, Kriya Yoga ini dipopulerkan oleh Sri Paramahamsa Yogananda. Mengenai kléša akan dibicarakan pada sutra II.3 sampai dengan II.9.

Menurut Shrii Shrii Anandamurti, Tapa diterapkan dengan menahan kesulitan-kesulitan fisik maupun mental demi kebahagiaan orang atau makhluk lain dan melakukan pengabdian tanpa pamerih. Dikatakan juga bahwa Tapa, sebagai pengabdian tanpa pamerih sendiri, ada empat jenis ragamnya, yakni: 
• Bhuta Yajña —pengabdian untuk kepentingan alam ciptaan. 
• Pitra Yajña —pengabdian kepada nenek-moyang atau leluhur. 
• Adhyatma Yajña —pengabdian lewat jalan spiritual. 
• Nr Yajña atau Manusa Yajña —pengabdian untuk kepentingan sesama manusia. 
Jadi Yajña, persembahan suci yang tulus ikhlas ini, juga dimaknai sebagai pelaksanaan Tapa oleh guru besar pendiri Ananda Marga itu. Pandangan ini ternyata sejalan dengan wejangan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita IV.28: “Ada yang beryajña dengan harta-benda miliknya (drawya yajña), beryajña dengan Tapa (tapa yajña), beryajña dengan Yoga (yoga yajña) dan yang lainnya ada pula yang beryajña dengan Svadhyaya (svadhyaya yajña), serta dengan Jñana (jñana yajña); demikianlah mereka yang taat melaksanakan disiplin hidup kerokhanian (vrata).” Dua sutra pembukaan tadi ternyata memperoleh dukungan kuat dari Bhagavad Gita; bentuk-bentuk persembahan dalam Isvarapranidhana-pun dipaparkan, sebagai praktek langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Bhagavan Sathya Narayana, dalam “Jñana Vahini”, membedakan Tapa atas 3 hal, yakni: Tapa Mental, Tapa Fisik dan Tapa Pembicaraan. Pembagian dan penjelasannya tentang ketiga hal yang di-tapa-kan ini, amat mirip dengan konsep etika-moral Hindu, Trikaya Parisuddha, yang sudah tak asing lagi di Nusantara, terdiri dari: 
• pensucian pikiran (manacika), 
• pensucian ucapan (wacika) dan 
• pensucian perbuatan (kayika). 
Ini merupakan upaya pensucian integral terhadap tiga modus utama perbuatan. Dalam Trikaya Parisuddha secara inklusif terangkum hampir semua landasan moral-etik Yoga, Yama-Niyama. Ia juga mewakili pelaksanaan tiga dari Jalan Utama Beruas Delapan dari Buddhisme, yakni: Pikiran Benar (sammã-sankappa), Ucapan Benar (sammã-vaca) dan Perbuatan Benar (sammã-kammanta). Secara praktis, membiasakan tiga etika-moral-spiritual (abhyasa) ini mengantarkan pada vairagya dan viveka, yang akan amat diperlukan demi terjaminnya pencapaian tujuan akhir.

Kena Upanishad menyebut Tapa sebagai salah-satu tiang Brahmavidya (Pengetahuan Ketuhanan), disamping Dama (pengekangan diri) dan Karma (kegiatan dalam kebajikan). Dalam Prasna Upanishad-pun Tapa mendapat tempat istimewa dengan ditekankannya secara berulang-ulang. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutkan toleransi, kesabaran dan latihan yang terus menerus dengan tekun sebagai tiga aspek dari Tapa, yang mematangkan seorang siswa spiritual (sadhaka). Setiap usaha untuk mencapai pengalaman duniawi maupun transenden merupakan Tapa. Hanya dalam artian yang terbatas sajalah Tapa diartikan sebagai kesederhanaan. Disebutkan pula, secara menyeluruh Tapa dilakukan bukan saja pada lima indria sensorik dan lima indria motorik, akan tetapi juga dilakukan bagi sikap mental dan daya vital (prana). Jadi, Tapa merupakan upaya pensucian menyeluruh, lahir maupun batin. Manusmrti —kitab suci Smrti yang hingga kini masih paling sering diacu dalam jenisnya—juga menyebutkannya demikian.

Di dalam Manusmrti atau Manava Dharmasastra Tapa dan Brata dipaparkan secara panjang lebar dalam banyak sloka-slokanya. Beberapa diantaranya, yang khusus menyangkut Tapa pada adhyaya XI, dikutipkan berikut ini.

Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa. 
Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapa-nya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapa-nya yang teguh, terjaga bak hartawan menjaga kekayaannya. Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapa-nya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Hyang Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Veda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa melalui Tapa-nya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa." [MDs. XI: 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245]

Dalam banyak pustaka suci dan ajaran mental-spiritual Tapa berkait erat dengan Sauca, pensucian lahir-batin (yang dibicarakan nanti dalam pembahasan sutra II.40 dan II.41); dan menduduki posisi fundamental dalam praktek kehidupan spiritual. Tapa berkaitan langsung dengan kehidupan suci itu sendiri. Bahkan, para rshi di jaman dahulu menerima wahyu-wahyu melalui kehidupan suci ini.

Svadhyaya adalah upaya mempelajari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis secara mandiri, guna memperoleh pengertian yang sejelas-jelasnya tentang hakekat yang terkandung di dalamnya. 

Mempertanyakan (vicara), melakukan analisa-analisa penalaran (vitarka), maupun perenungan-perenungan mendalam serta perbandingan dengan kejadian sehari-hari terhadapnya, merupakan beberapa langkah dalam pembelajaran secara mandiri yang amat bermanfaat dalam memberi pengertian serta menumbuhkan pemahaman yang baik dan kian mendalam. Yang pasti, svadhyaya hendaknya tidak hanya diartikan sebagai membaca saja, belajar dari buku-buku saja, mengingat setiap bait sloka atau sutra, bahkan setiap kata dari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis—seperti Yoga Sutra ini misalnya—mempunyai makna yang padat dan dalam. Mereka tak dapat dipahami dengan baik, bila hanya mengartikan secara harfiah, seperti membaca koran, atau buku-buku pelajaran sekolahan saja.

Mereka yang hanya berpegang dan terpatok pada arti harfiah, dan memperlakukan kitab-kitab ajaran hanya seperti buku-buku pelajaran sekolahan, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang amat dangkal, sebatas kata-kata saja. Cara pembelajaran seperti inilah yang punya andil besar di dalam melahirkan sikap dogmatis, yang menjurus pada fanatisme. Dalam masyarakat heterogen, global dan terbuka seperti sekarang ini, sikap-sikap dogmatis dan fanatis bisa amat membahayakan masyarakat luas dan juga penganutnya. Bukti-bukti tentang fenomena ini, dapat kita lihat dengan mudah di sekeliling kita.

Dalam proses pembelajaran secara mandiri ini, ‘mengetahui’ adalah yang mula pertama diperoleh. Apa yang kita ketahui harus dimatangkan lagi sehingga kita menjadi benar-benar ‘mengerti’. Dari sinilah tumbuh pengertian-pengertian tentang apa yang diketahui tersebut. Bersama dengan berjalannya waktu, mendengar, membandingkan, bertukar-pikiran atau berdiskusi dengan mereka yang telah lebih dahulu mengetahui atau mengerti, apalagi berpengalaman, secara akumulatif akan membentuk ‘pengertian’ yang semakin baik, lengkap dan kian mendalam tentang apa yang kita pelajari. Melalui perenungan-perenungan serta pembuktian-pembuktian seperlunya, pengertian kita lambat laun meningkat menjadi ‘pemahaman’. Nah....dengan semakin halus dan mendalamnya ‘pemahaman’ kita, pengetahuanpun semakin mengembang dengan sendirinya. Yang pasti, dalam Yoga Sutra ini Patanjali telah telah menegaskan bahwa ‘pengamatan langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik’. 

Isvarapranidhana adalah penyerahan diri kepada Isvara (Tuhan), dengan menerima sepenuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya perlindungan. Bahkan disebutkan, nanti dalam sutra II.45, bahwa pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana. Menurut Swami Satya Prakas Saraswati, ia merupakan suatu istilah spiritual-teknis khusus ciptaan Patanjali, yang tidak disebut-sebut oleh Maharshi Kapila dalam Sankhya Darsana-nya.

Bilamana ketiganya diterapkan dengan baik dan benar, walaupun ia disebut sebagai “Yoga Pendahuluan”, memberikan nilai manfaat spiritual yang tinggi kepada penekunnya. Ia menumbuhkan sikap batin yang kokoh, mantap, untuk mulai melanjutkan ke jenjang-jenjang berikutnya dengan pemahaman yang baik, dan tanpa disertai sikap-sikap dogmatis dan fanatis. Iapun mengarahkan penekun menjauh dari sikap ekstrim atau mempertontonkan ke-ekstrim-an pada khalayak.

Dalam Jñana Vahini, Bhagavan Sathya Narayana bahkan menyatakan bahwa melalui Tapa (dalam arti luas) saja, seseorang dapat mencapai tingkat yang tertinggi. Bukan main memang kekuatan yang dapat dihasilkan Yoga guna mencapai realisasi Diri-Jati dan Kebebasan.

Dipublikasikan di majalah Media Hindu No. 15 — Edisi Mei 2005

0

Penyebab Penyakit Menurut Ayurveda

Oleh : Ngurah Nala (Universitas Hindu Indonesia)      
       Penyebab penyakit amat banyak ragamnya. Orang jatuh sakit dapat karena terserang kuman penyakit, dapat pula karena jatuh, tertimpa pohon, kehujanan, kepanasan, kena debu, posisi kerja yang salah, karena sejak lahir sudah mengidap penyakit dan sebagainya. Menurut kitab Ayurveda, untuk memudahkan dalam pengobatannya, penyebab sakit perlu dikelompokkan. Penrebab penyakit ini dapat dikelompokkan dalam 3 golongan, yakni:

1. Pradnyaparadha: 
     Yang dimaksud ke dalam kelompok pradnyaparadha ini adalah penyebab sakit yang tergolong dalam perbuatan yang tidak wajar dan dhi (intelek), dhrti (kesadaran) dan smrti (ingatan). Bila seseorang berbuat yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, mempergunakan kepandaiannyauntuk menipu, korupsi, mencuri dan perbuatan adharma lainnya, maka dia akan menderita tekanan batin. Perasaarinya selalu berasa bersalah, sehingga lama kelamaan dia akan jauh sakit. Mengumbar nafsu serakah, marah, mabukmabukan, juga menyebabkan badan menjadi sakit. Dengan sadar mengisap rokok berlebihan, mengisap ganja, narkotika, mengumbar nafsu seksual, obat terlarang, akan menyebabkan badan menjadi sakit.

2. Asatmyendriyartha samyoga:
      Kelompok asatmyendriyartha samyoga ini terdiri atas penyebab sakit yang berupa penggunaan panca inderiya yang menyimpang, baik dalam hal penglihatan, pendengaran, penghiduan (penciuman), pengecapan dan perabaan. Misalnya melihat agak lama matahari ketika tengah han, dapat menyebabkan mata menjadi sakit. Mendengar bunyi yang terlalu keras sehingga telinga menjadi sakit. Mencium bau yang menyengat (mengandung racun) akan menyebabkan daya penciuman berkurang. Meminum air panas, mengakibatkan lidah terluka, sehingga pengecapan menjadi kurang berfungsi. Kulit yang terluka atau terlalu tebal, akan mengurangi kepekaan rasa perabaan. Dan berbagai penyimpangan penggunaan panca indera yang tidak normal.

3. Kala parinama:
      Kelompok kala parinama ini merupakan berbagai penyebab sakit atau kelainan yang muncul akibat adanya pergantian suhu dari dingin menjadi panas, dari kering menjadi hujan atau sebaliknya, sebagai akibat dari sifat khas dari setiap musim. Anak-anak amat peka terhadap perubahan suhu ini. Mereka cepat jatuh sakit, seperti terkena pilek, demam, batuk dan sebagainya. Pada musim hujan akan lebih banyak muncul penyakit terutama pada alat pencernaan, seperti menceret, mules, karena makanan yang dimakan pada umumnya berada dalam keadaan lembab, cepat busuk, banyak lalat dan sebagainya. Sedangkan pada musim kering akan lebih banyak muncul penyakit pada jalan nafas, seperti pilek, batuk dan sejenisnya, disebabkan udara kering serta banyak debu beterbangan. Udara yang kotor inilah yang dihirup oleh hidung.

       Dengan pembagian penyebab penyakit seperti ini, para vaidhya atau dokter Ayurveda akan dengan mudah memilihkan obat atau cara pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya.

0

Klasifikasi Penyakit


Oleh : Ngurah Nala 
Universitas Hindu Indonesia


Setiap orang sebagai manusia pasti pernah sakit. Mengapa orang menjadi sakit? Ada banyak penyebab yang menjadikan seseorang itu jatuh sakit. Dan berbagai penyebab itu berdasarkan atas asal penyebab penyakit, maka penyakit dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yakni:
1. Adhyatmika 
Adhyatmika merupakan penyakit yang berasal dan dalam tubuh sendiri, termasuk penyakit psiko-somatik. Sel, organ atau sistema yang ada di dalam tubuh manusia mengalami kelainan bentuk atau kerusakan, sehingga fungsinya tidak normal. Kelainan ini bukan disebabkan oleh faktor yang datang dan luar tubuh, tetapi memang sudah terjadi tanpa ada campur tangan dan pihak luar tubuh. Penyakit psikosomatik merupakan penyakit yang timbul akibat adanya gangguan pada pikiran, mengakibatkan organ tubuh sakit. Misalnya pikiran selalu kalut, dapat menimbulkan penyakit lambung atau maag.
2. Adhibhautika 
Adhibautika adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor kausa fisik dan luar tubuh, seperti bibit penyakit yang menyerang tubuh, atau diserang oleh orang dengan sabit sehingga luka. Teriris pisau, terpukul palu, tertusuk paku, tersiram air panas, kulit terbakar, merupakan penyakit akibat terkena benda fisik ketika sedang bekerja. Demikian pula luka, cedera, atau patah tulang akibat kecelakaan, termasuk di dalam kategori ini.
3. Adhidaivika 
Adhivaivika merupakan penyakit yang berasal dan takdir, pengaruh planet, musim, dan sebagainya. Penyakit ini muncul sering tidak diketahui penyebabnya. Sehingga dikatakan sebagai takdir. Tiba-tiba badannya panas tanpa diketahui penyebabnya.

Sub-klasifikasi 
Bila disimak lebih rinci lagi maka ada 3 sub-klasifikasi dan penyakit adhyatmika, yang kausanya berasal dan dalam tubuh sendiri, yakni:
a. Adibalaja adhyatmika merupakan penyakit keturunan. Penyakit jenis ini di dalam dunia kedokteran modern disebut penyakit herediter. Penyakit ini diperoleh dari leluhur atau orang tuanya. Misalnya penyakit kencing manis, buta warna, bisu tuli (Bali = kolok) akan menurun kepada anak cucunya.
b. Janmaja adhyatmika adalah penyakit yang diperoleh ketika berada di dalam kandungan. Penyakit jenis ini di dalam dunia kedokteran modern disebut penyakit kongenital. Misalnya cacat tubuh, atau kelainan hormonal, karena kondisi alat kandungan ibu ada kelainan atau akibat ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang membahayakan janin. 
c. Doshaja adhyatmika merupakan penyakit akibat kenaikan dosha. Yang dimaksud dengan dosha di sini adalah tiga unsur dosha atau tri dosha yang selalu berada di dalam tubuh manusia. Ketiga dosha tersebut adalah vatta, pitta dan kapha (unsur angin, api, dan air).

Penyakit dapat pula diklasifikasikan sebagai akibat dari gangguan tri dosha, yaitu:
1. Nanatmaja dosha adhyatmika 
Penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan pada salah satu atau dua unsur tri dosha tertentu. Misalnya : kelumpuhan yang hanya disebabkan oleh vatta atau vayu. 
2. Samaniaja dosha adhyatmika 
Penyakit yang muncul dapat pula disebabkan oleh karena adanya gangguan pada ketiga unsur tri dosha.
Karena berbeda penyebab dan penyakitnya maka dengan sendirinya jenis pengobatannyapun bervariasi dan satu penyakit ke penyakit yang lainnya.


0

Silsilah Mpu Bharadah


Tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.

Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. 

Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. 

Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. 

Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. 

Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.

Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini

"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama" yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.

Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.

Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.

Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. 

Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, 

serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.

Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, 
yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. 
Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. 
Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.

Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal,

Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.

sumber : babadbali.com